Lahan yang tadinya adalah milik negara bagian Selangor ini dibeli oleh pemerintah federal Malaysia untuk dijadikan lokasi baru dari mega proyek pemindahan kota pemerintahan negara Malaysia dari Kuala Lumpur ke lokasi yang baru.
Disebut mega proyek, memang dari mulai ide, konsep dan desain serta pelaksanaannya memang membutuhkan perhatian yang besar dan tentunya biaya yang besar pula. Soal visi untuk memajukan negaranya, Perdana Menteri Malaysia saat itu, Dr. Mahathir Mohammad memang revolusioner. Ide memindahkan pusat pemerintahan negara keluar dari Kuala Lumpur merebak pada akhir 1980-an seiring dengan mulai memadatnya kota Kuala Lumpur. Selain itu, visi ini juga untuk mempertahankan posisi sentral Kuala Lumpur sebagai kota bisnis dan keuangan utama dari Malaysia.
Ide pemisahan kota pemerintahan negara dan kota bisnis utama sebenarnya bukan hal yang baru di dunia. Kota-kota besar di dunia sudah melakukan hal ini sejak dulu. Suatu ide yang efektif sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang politik negara. Jika terpisah, maka apabila terjadi gejolak politik di kota pemerintahan, maka imbasnya tidak akan langsung mengganggu kegiatan bisnis di kota bahkan negara tersebut.
Jakarta sendiri sebenarnya sempat mewacanakan hal ini, dengan rencana pemindahan kota pemerintahan ke Jonggol, Cileungsi Bogor. Sehingga Jakarta tetap sebagai kota bisnis. Ide yang bukan orisinil, karena dulu pemerintah Hindia Belanda juga sudah menelurkan rencana untuk menempatkan Bandung sebagai kota pemerintahan dan Batavia tetap sebagai kota perdagangan.
Putrajaya sendiri, muncul sebagai kota yang megah. Kritik bermunculan atas pembangunannya, karena dibangun dengan biaya yang sangat besar padahal saat itu negara sedang mengalami krisis ekonomi di tahun 1997. Desain kota, arsitektur bangunan serta lansekapnya merupakan suatu simbol kemajuan tertentu bagi bangsa Malaysia. Tapi disisi lain, arsitektur kota Putrajaya menjadi sasaran kritik para kritikus arsitektur dan budaya atas penampilannya yang berusaha mengejar nuansa Islami yang secara tidak resmi dianggap sebagai kebudayaan bangsa Malaysia.
Rencana induk Putrajaya merupakan rencana yang matang. Tema sebagai kota baru yang canggih tetapi ramah lingkungan diusung oleh perencana kota Putrajaya. Selain bangunan-bangunan dengan material terkini dan desain yang spektakuler, Putrajaya dirancang lengkap dengan danau buatan yang luas, area lahan basah (wetlands), pedestrian yang lebar dengan site furniture yang lengkap serta taman-taman yang didesain dengan baik. Aksis utama kota dan danau buatan yang diberi nama Danau Putrajaya adalah unsur utama dari rencana induk kota ini. Aksis utama membelah utara dan selatan dengan panjang lebih dari 4 km dan lebar 100 meter yang sangat cukup untuk melakukan parade militer saat Hari Kemerdekaan. Aksis ini membentuk boulevard yang megah dan diapit oleh deretan bangunan-bangunan kantor pemerintahan yang wujudnya pun berskala megah. Ujung utara Putrajaya Boulevard berdiri bangunan kantor perdana mentri Malaysia yang dikenal dengan Perdana Putra sedangkan di ujung selatan berdiri Putrajaya International Convention Center (PICC).
Di depan bangunan Perdana Putra, di ujung Putrajaya Boulevard terdapat city square yang disebut Dataran Putra dimana berfungsi sebagai alun-alun utama kota Putrajaya. Di sebelah baratnya dibangun mesjid resmi Putrajaya dengan nama Mesjid Putra. Terdapat juga food court, pusat perbelanjaan kecil (Souq Putrajaya) yang menempel di bagian bawah bangunan mesjid yang menghadap ke danau dengan desain waterfront yang menarik. Perencanaan tapak seperti ini memang mirip dengan perencanaan tapak kawasan pemerintahan tradisional di Jawa yaitu keraton, mesjid raya dan pasar utama yang dibangun menghadap ke alun-alun. Keraton dapat diasosiasikan dengan kantor perdana mentri, mesjid raya dengan Mesjid Putra, pasar utama dengan Souq Putrajaya dan Dataran Putra sebagai alun-alunnya. Tidak jelas apakah kemiripan tata letak ini adalah sesuatu yang memang direncanakan dengan konsep serupa hanya atau kebetulan saja.
Jarak yang terpisah 4 km antara Perdana Putra dan PICC tetapi tetap ada kebutuhan saling berhadapan secara visual membuat dua bangunan utama ini menjadi tampil dengan skala megah. Bahkan bangunan Perdana Putra sudah memposisikan diri lebih tinggi dibanding bangunan lain di komplek utama Putrajaya dengan dibangun lebih tinggi diatas tanah yang ditinggikan sehingga seperti berdiri diatas bukit.
Perdana Putra dibangun dengan gaya yang bisa dibilang eklektik. Bangunan muncul dengan komposisi simetris, dengan pilar-pilar kolom yang ditegaskan bentukannya. Keinginan untuk tampil megah dan berwibawa serta formal memang didapat dari penampilan seperti ini. Terdapatnya perpaduan 2 macam atap yaitu atap kubah bawang dan atap limasan seolah ingin menunjukkan perpaduan budaya Melayu dengan budaya Islam yang diwakili oleh keberadaan kubah tersebut.
Mesjid Putra merupakan salah satu bangunan sentral di Putrajaya selain Perdana Putra. Skalanya yang agung membuatnya makin menjadi point of interest dari kota Putrajaya itu sendiri. Alhasil, Mesjid Putra menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi pengunjung kota. Mesjid Putra dibangun dengan menggunakan material finishing granit warna merah muda. Warna yang cukup mencolok jika kita memandang skyline utara Putrajaya.
Gaya arsitekturnya mencoba mengadopsi bangunan peradaban Islam di Asia Tengah pada abad ke 14-15 ini, dengan munculnya kubah utama di atas bangunan masif dan dikelilingi oleh kubah-kubah kecil lainnya. Perbedaan yang mencolok adalah penggunaan kubah tidak mengambil kubah bawang sebagaimana kubah di Perdana Putra. Mesjid Putra juga mempunyai gerbang iwan yang besar dan tinggi. Skalanya yang agung membuat masjid tampil lebih megah jika dilihat dari dekat.
Bangunan-bangunan yang mengapit boulevard Putrajaya dibangun dengan gaya yang diupayakan sebagai bangunan dengan pengaruh Islami. Simbol-simbol fisik dari bangunan-bangunan asal peradaban Islam di Timur Tengah secara bulat-bulat dicoba diterapkan di bangunan-bangunan penting. Walau dari sudut teknologi bangunan dan material mempunyai nilai tersendiri, tetapi secara esensi keislaman menjadi perdebatan tersendiri. Contohnya adalah bangunan mahkamah agung (Palace of Justice) nya. Bangunan ini mengambil gaya arsitektur Moor lengkap dengan busur dan kolom kembarnya. Karena merupakan pindahan dari Bangunan Sultan Abdul Samad di depan Dataran Merdeka Kuala Lumpur yang bergaya Moorish, maka Palace of Justice di Putrajaya kembali menggunakan gaya tersebut hanya dengan skala yang lebih agung. Munculnya kembali kubah bawang seakan-akan seperti justifikasi Malaysia akan pengaruh Islam dalam budaya mereka. Beberapa pendapat menyatakan bahwa Taj Mahal di India juga menjadi sumber inspirasi desain bangunan ini.
Putrajaya memang tampil memesona. Tidak terlalu berlebihan jika Putrajaya disebut sebagai laboratorium arsitektur kontemporer dari Malaysia. Rekayasa baru banyak dilakukan disini untuk mencapai keinginan tampil dalam arsitektur yang baik. Jembatan-jembatan dengan desain jembatan terkenal di dunia – dari jembatan masif adopsi dari jembatan di Isfahan abad ke-14 hingga jembatan kabel futuristik a la Eropa – muncul disini diluar masalah konteks atau tidaknya dengan penampilan kota. Danau dibuat setelah jembatan selesai, dan danau ini mempunyai sistem filterisasi organik dengan penggunaan lahan basah pada inletnya. Suatu terobosan rekayasa yang mengedepankan isu ekologi.
Walau kontroversi dan kritik terus bermunculan saat pembangunannya hingga saat ini. Kritik paling mendasar selain masalah biaya adalah tampilan skala kota dan bangunannya. Putrajaya memang muncul tidak proporsional dengan jumlah penduduknya yang memang hanya diperuntukkan bagi pegawai pemerintah dan keluarganya serta pihak-pihak yang terkait. Sedangkan kota tampil dengan ukuran yang serba besar sedangkan penduduk hanya berkisar 60.000 orang saja. Bagaimana kota Putrajaya agar hidup sebagai kota pada umumnya memang terus digalakkan dengan membangun pusat-pusat kegiatan ekonomi sehingga kehidupan akan lebih hidup, walaupun berjalan lambat.
Selain itu, kritik juga muncul dari gaya-gaya arsitektur yang ditampilkan. Penggunaan gaya Timur Tengah dan Asia Tengah yang disebut-sebut sebagai hasil kebudayaan Islam lengkap dengan kubahnya yang dipadu dengan arsitektur vernakular Melayu menjadi tanda tanya besar apakah ini yang akan menjadi identitas arsitektur Malaysia kedepannya. Bangunan-bangunan di Putrajaya dinilai tidak responsif terhadap kondisi iklim tropis dengan curah hujan tinggi Malaysia.
Jadi pertanyaannya adalah; Putrajaya adalah identitas arsitektur Malaysia kontemporer atau hanyalah kota hasil dari imajinasi Dr. M (sapaan Mahathir Mohammad) akan identitas Malaysia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar